Penulis : Nasky Putra Tandjung
membaranews.com-(Labuhanbatu)
*Muda dan Berdaya: “Desa Sebagai Masa Depan Pemuda dan Pemuda Sebagai Masa Depan Desa”.*
Bertahun-tahun lamanya dalam pikiran manusia-manusia Indonesia, Desa adalah suatu tempat yang selalu dirindukan (terbukti dengan padatnya arus mudik setiap tahunnya) tapi di sisi lain desa adalah suatu tempat yang dalam perjalanan sejarah Indonesia juga hampir selalu terpinggirkan dan luput dari perhatian para pemegang kekuasaan. Meskipun jauh dari perhatian kekuasaan selama puluhan tahun, akan tetapi terpinggirkannya wacana tentang pengembangan desa dan munculnya anggapan bahwa desa hanyalah tempat kembali para perantau atau tempat bersantai sementara, akibatnya turunan dari sikap pemegang kekuasaan yang terwujud dalam kebijakan perundang-undangan di masa silam. Beberapa tahun terakhir keadaan lambat laun berubah membaik. Desa akhirnya “Berdaulat”, kira-kira begitu tanggapan banyak aktivis, perangkat desa, dan masyarakat ketika enam tahun yang lalu *Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa* disahkan. Pada Undang-Undang tersebut, Negara mendefinisikan Desa sebagai representasi dari kesatuan masyarakat hukum terkecil yang telah ada dan tumbuh berkembang seiring dengan sejarah kehidupan masyarakat Indonesia dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan kehidupan bangsa Indonesia.
Secara historis desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia, jauh sebelum negara bangsa modern ini terbentuk, entitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya, telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Satu hal yang paling menonjol dari disahkannya Undang-Undang Desa tersebut adalah diberikannya Dana Desa ke seluruh Desa di Indonesia. Dana desa sendiri merupakan dana APBN yang diperuntukkan bagi desa untuk menguatkan kewenangan pemerintahan, pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Hampir setiap tahunnya jumlah anggaran yang diperuntukan untuk dana desa mengalami peningkatan. Presiden Joko Widodo sendiri memasukkan rancangan dana desa pada RAPBN 2019 sebesar 837 trilliun atau naik 73 triliun dari tahun sebelumnya. Ini menunjukkan keseriusan pemerintah sesuai dalam Nawa Cita atau sembilan harapan Pak Jokowi yaitu salah satunya, termuat dalam poin ketiga dari Nawacita Presiden Jokowi yaitu *”Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam rangka negara kesatuan”.*
Pembangunan tidak lagi terpusat di perkotaan (Sentralisasi), melainkan harus dilakukan menyebar di seluruh pelosok Indonesia (Desentralisasi).
Pada hakekatnya, pembangunan daerah merupakan kewenangan dari pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, sedangkan pemerintah berfungsi sebagai motivator dan fasilitator dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal. Namun demikian, pembangunan daerah tertinggal tidak mungkin berhasil tanpa dukungan dan kerja keras para pemangku kepentingan (stakeholders).
Setiap daerah tidak harus sama dalam melaksanakan pembangunan, perbedaan dalam pembangunan memang perlu dilakukan, demi mengakomodir karakteristik dan kemampuan masing-masing wilayah.
Membangun daerah pinggiran, bukan saja terkait kewilayahan atau geografis daerah-daerah yang berdekatan dengan perbatasan negara tetangga, tetapi juga soal manusia yang terpinggirkan dan kurang mampu secara ekonomi dan kualitas sumber daya manusia yang masih minim. Pinggiran juga menunjukan kondisi masih minimnya pembangunan di wilayah tersebut. Hal ini, sebagai dampak dari pembangunan yang selama ini hanya menitikberatkan pada kawasan perkotaan, yang dianggap sebagai pusat pertumbuhan.
Untuk mendukung peningkatan pembangunan fisik di daerah, Pemerintahan terus meningkatan anggaran transfer ke daerah dan dana desa dari tahun ke tahun sesuai untuk memenuhi amanat *UU Nomor 6 Tahun 2017 tentang Desa* . Adapun anggaran dana tersebut digunakan sesuai dengan kondisi letak geografis desa yaitu untuk membangun Jalan desa, Jembatan, Akses air bersih, Tambatan perahu, Paud, Polindes, Pasar desa, Irigasi, Posyandu dan Embung. Terserapnya realisasi dana desa tidak berarti menjadikan implementasi dana desa bebas dari permasalahan. Enam tahun setelah *Undang-Undang Desa* disahkan dan dana desa diberikan ke seluruh desa di Indonesia ternyata belum mampu secara maksimal mengangkat posisi desa (paling tidak secara ekonomi) menjadi lebih “Berdaulat”. Terbukti bersumber dari hasil pendataan potensi desa (Podes) 2018, mencakup atas 5 dimensi dan 42 indikator yang menggambarkan ketersediaan dan aksesibilitas pelayanan pada masyarakat Desa. Hasil Indeks Pembangunan Desa (IPD) 2018 menunjukkan ada 5.606 desa mandiri, 55.369 desa berkembang dan 14.461 desa tertinggal. Berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM) tahun 2019, sebagian besar atau 75,97% desa yang ada di 62 daerah tertinggal tahun 2020-2024 berstatus sebagai desa tertinggal dan sangat tertinggal. Sisanya sebanyak 23,03% ada yang berstatus desa berkembang, desa maju, maupun desa mandiri. Ini menunjukan bahwa masih ada ketimpangan di 74. 000 desa di seluruh Indonesia. Tentu ini menjadi warning bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi yang lebih mendalam dan teliti lagi terhadap implementasi dana desa di seluruh Indonesia.
*_Sedikit Tentang Pemuda dalam Lintasan Sejarah Bangsa*
Fakta-fakta diatas menunjukan bahwa dana desa memang belum bisa meningkatkan dan meratakan pembangunan di desa-desa di seluruh Indonesia, tetapi tetap tidak bisa menjadi solusi tunggal menyelesaikan berbagai permasalahan dan tumpuan harapan masa depan. Lantas apa atau siapa yang akan paling menentukan masa depan desa-desa di Indonesia? Jawabannya: *Pemuda.*
Melihat lintas sejarahnya di Indonesia, pemuda memegang peranan cukup penting. Meskipun demikian, gerakan pemuda di Indonesia memiliki karakter yang sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Salah satu cara menangkap variasi gerakan pemuda di Indonesia adalah melalui berbagai karya sastra, politisi, akademisi dan lainnya. Jadi melalui hemat penulis berpendapat bahwa gerakan pemuda direpresentasikan secara berbeda-beda di setiap era apalagi di saat sekarang era generasi milenial.
Pada awal abad ke-20, pemuda digambarkan sebagai mereka yang bersinggungan dekat dengan ‘kemajuan’ berkat persentuhannya dengan kultur eropa. Representasi yang lain lagi nampak pada era perang kemerdekaan. Umumnya, pemuda digambarkan sebagai mereka yang berjuang demi kemerdekaan. Pada era orde baru, pemuda digambarkan sebagai pemberontak. Keberagaman lintas sejarah gerakan pemuda ini membuat penulis berpendapat bahwa tidak ada gerakan pemuda yang sejati. Pemuda adalah _‘floating signifier’_ yang tidak punya sifat tetap (Dinamis). Karakternya akan terus berubah dari masa ke masa.
Sejarah juga menunjukan bahwa dengan segala keterbatasannya pemuda justru sering memikul beban moral yang besar. Bahwa gerakan pemuda di awal masa orde baru memiliki beban yang cukup besar, mengingat pemuda merupakan pihak yang memiliki peran signifikan dalam menggulingkan soekarno dan menempatkan soeharto pada kursi kepresidenan. Hal ini menyebabkan pemuda merasa bertanggung jawab besar untuk menjaga nama baik sang presiden dan orde baru yang pernah mereka perjuangkan di antara rakyat kecil. Kecenderungan tersebut kemudian bergeser seiring dengan maraknya tindak korupsi yang dilakukan pemerintah. Pemuda berusaha menciptakan gerakan moral yang terpisah dari kepentingan politik. Tujuan dari gerakan ini adalah mengoreksi apapun yang salah dari pemerintah, melakukan kontrol sosial, dan menolak segala bentuk kegiatan pemerintah yang dianggap tidak bermoral di tengah-tengah masyarakat. Gerakan tersebut bukan pada akhirnya bertujuan untuk menggulingkan pemerintah, namun berusaha merepresentasikan dukungan kritis terhadap jalannya pemerintahan itu sendiri.
Awal masa Orde Baru menunjukkan pemuda menggunakan gerakan moral yang bertujuan memberikan kritik terhadap berbagai implementasi kebijakan pemerintah dan menunjukkan kemurnian perlawanan terhadap dunia yang korup. Kecenderungan kemudian berubah untuk memperjuangkan isu-isu populis, mulai dari memperjuangkan hak rakyat miskin yang tanahnya digusur, hingga isu pembredelan sejumlah media massa yang cukup dominan saat itu. Dengan isu-isu tersebut, gerakan pemuda menjadi satu entitas yang mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar dan menyatukan berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa dan kaum miskin. Pemuda juga berhasil menepatkan isu-isu yang berkaitan dengan HAM, Demokrasi, dan Ketidakadilan sebagai agenda utama yang harus dikawal. Tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998 dianggap sebagai salah satu contoh sukses gerakan pemuda di Indonesia.
*Pemuda dan Desa*
Sebelumnya telah diuraikan bahwa dilihat dari aspek kesejarahan, gerakan pemuda di Indonesia sangat jarang bersentuhan dengan desa. Setidaknya ada faktor-faktor yang melatar belakangi mengakibatkan hal tersebut terjadi. Selama bertahun-tahun meskipun dengan variasi berbeda-beda karakter gerakan pemuda di Indonesia adalah gerakan perlawanan atau kritik yang sifatnya politis dalam artian mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, bukan pemberdayaan masyarakat di pedesaan. Sehingga ada bias perkotaan dalam gerakan pemuda karena pusat-pusat kekuasaan ada di kota-kota. Disisi lain pemuda-pemuda yang berasal atau tinggal di desa karena minimnya lapangan pekerjaan di desa akhirnya memutuskan untuk melakukan urbanisasi ke kota sehingga sumber daya manusia pemuda di desa menjadi sangat minim. Untuk beberapa provinsi, terutama provinsi di Jawa dan Bali, tingkat urbanisasi nya sudah lebih tinggi dari Indonesia secara total. Urbanisasi juga mengakibatkan terjadinya _Brain Drain_ atau fenomena berpindahnya pemuda-pemuda potensial dengan kualitas sumber daya manusia mumpuni dari desa. Apalagi dengan gagasan baru dari Kemenristek Dikti yaitu “Kampus Merdeka”, yang akan membuka ruang untuk Perguruan Tinggi dan Mahasiswa nya untuk melakukan edukasi, pemberdayaan dan pengabdian kepada masyarakat di pedesaan. ini tentu sangat membantu masyarakat di pedesaan dalam berinovasi dalam membaca, menggali potensi-potensi di desa baik disektor sumber daya alam, pertanian, budaya lokal, wisata desa dan lainnya.
Lalu kaitannya dengan dana desa, akibat dari urbanisasi dan _brain drain_ tersebut adalah minimnya pengawasan terhadap implementasi dan realisasi dana desa di desa-desa seluruh Indonesia. Dengan kata lain, kisah terjadinya korupsi atau maladministrasi dana desa sangat mungkin akan berulang setiap tahunnya. Para pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan di desa-desa di seluruh Indonesia harus melibatkan pemuda dalam formulasi, implementasi, dan evaluasi penggunaan dana desa. Dilibatkannya pemuda dalam formulasi, implementasi, dan evaluasi dana desa akan membuat para pemuda desa merasa dijadikan subjek sehingga punya rasa keterikatan yang kuat dengan desa. Dengan kata lain pemuda akan merasa bahwa meskipun mereka tetap tinggal di desa dan tidak melakukan urbanisasi ke kota mereka tetap punya masa depan. Para pemuda dapat merancang masa depan mereka di desa juga masa depan desa.
Indonesia juga memiliki nilai cukup baik dalam aspek society atau kuatnya modal sosial di masyarakat. Jika hal tersebut dilaksanakan maka akan menguntungkan desa karena dapat meminimalisasi fenomena _brain drain,_ sehingga di masa depan desa akan mempunyai sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Pemuda dan desa juga akan mendapat kesempatan untuk melakukan pembelajaran politik serta administrasi dalam formulasi, implementasi, serta evaluasi penggunaan dana desa. Pemerintah juga akan mendapat keuntungan karena dengan meratanya sumber daya manusia yang berkualitas di desa-desa di seluruh Indonesia maka pemerataan pembangunan lebih mudah untuk dilakukan. Dengan begitu, desa bisa menjadi masa depan pemuda dan pemuda menjadi masa depan desa sekaligus masa depan Indonesia.